
Sejenak menengok kecenderungan cara beragama yang sedang ngetren saat ini. Jika memakai kacamata subjektif saya, kini banyak orang yang mementingkan hal-hal yang nampak. Seperti penampilan, cara berpakaian, tren busana, gaya bicara, menghitamkan dahi, memanjangkan jenggot dan lain sebagainya. Bahkan terindikasi ada banyak orang yang memamerkan alamaliyah ibadah yang bersifat rahasia dengan tanpa disadari bahwa itu tidak baik, dan dapat menimbulkan rasa bangga atau sombong pada pelakunya.
Ada banyak modus pamer ibadah yang banyak diterapkan oleh khalayak, terlebih oleh kalangan muda. Seperti membangunkan dan mengajak sholat tahajud lewat media sosial, entah itu ke group WA atau di dinding Facebook atau lewat chat personal. Ada juga yang bermodus pengakuan mengikuti gerakan one day one jus dan lain sebagainya. Tentu jika dilihat dari satu sisi itu baik, tapi belum tentu menimbulkan kesan baik di sisi lain.
Opini publik pun belakangan menilai bahwa, pemilihan kata dalam berbahasa dapat mengindikasikan kereligiusan seseorang. Seperti kata, uhkti, akhi, ihwan, ustadz, antum, ana, umah, abah dan beberapa kalimat kearaban lainya. Tentu tidak ada salahnya jika menggunakan kalimat di atas pada masyarakat atau komunitas tertentu, seperti kawasan masyarakat jurusan pendidikan bahasa arab. Tapi untuk diterapkan pada masyarak umum kok rasanya kurang etis, apalagi menjadikanya sebagai ukuran dan patokan kereligiusan seseorang malah sangat kurang lah tepat.
Kemudahan dalam memberikan nilai serta gampangnya mengukur dan mudahnya dilaksanakan ditambah jadi mudah dinilai baik oleh orang lain, membuat gaya mementingkan hal-hal yang nampak begitu banyak diminati. Berbeda dengan kecenderungan yang ada pada beberapa tahun yang lalu, yakni gaya mementingkan aspek bathin, “Yang penting hatinya”.
Dulu banyak (mungkin saat ini juga masih ada) yang cukup hobi mengatakan “Yang penting hatinya”, dan meremehkan aspek dhohir. Bahkan ada yang sampai meninggalkan amaliyah ibadah dengan dalih sudah melaksanakan dengan bathinnya. Tentu gaya seperti ini juga sama salahnya.
Akan tetapi keduanya itu bagus jika kita melirik sebuah kaidah “Maa laa yudroku kulluh laa yutroku kulluh”, sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan secara maksimal itu jangan malah ditinggal sama sekali. Namun sama jeleknya jika kita melihat pada suatu maqolah “Sesungguhnya haqiqat tanpa syariat adalah batal dan syariat tanpa haqiqat sia – sia dan tidak berarti”, yang mengajarkan akan pentingnya keseimbangan antara keduanya.
Bukan kah dalam agama seringkali kita diajari tentang nilai keseimbangan. Nabi sendiri di samping memiliki tampilan yang katakan lah “islami”, namun juga memiliki etika dan aspek bathin yang baik. Nabi sholat tahajud tapi tidak lalu nabi sok-sokan ngajak tahajjud di medsos, beliau hanya membangunkan orang terdekatnya yang sedari awal mempunyai komitmen yang sama dalam selakukan ibadah tadi. Nabi pun juga berpenampilan (yang katakan lah) “islami” namun tidak pernah merasa lebih baik dan lebih tinggi dari pada yang lain, Nabi pun tidak pernah menghardik dan mengolok-olok orang lain hanya sekedar gara-gara tampilan. Nabi beribadah namun juga beretika baik dan bersifat lembut kepada sesama, serta selalu menebar cinta kasih pada sesama manusia.
Oleh karenanya, alangkah baiknya dalam beragama jangan samakan dengan memakan buah, memilih isinya saja dan meninggalkan kulitnya. Atau malah memilih kulitnya saja dan meninggalkan isinya. Ingat beragama itu luar dan dalamnya, dhohiron wa batinan.
Monggo Komentare