“Hakikat pergi hanyalah jasad.”
Kue Duka
Pukul dua siang.
Aku masih berjalan menyusuri tiap jalan-jalan kecil yang kulewati. Biar saja kakiku berjalan sesukanya, mengantar kemana yang ia mau. Mendung mulai bergerak menutupi kota kecil ini, meniupkan aroma-aroma lembap khas hujan. Angin mulai berembus sedikit nakal, memainkan rambutku sesukanya, membuatnya menjadi sedikit berantakan. Tak apa, aku tak masalah.
Semakin lama embusan angin semakin kencang, dan hujan lebat turun kemudian. Tapi langkahku tetap bergerak menyusuri tiap jalan. Kedinginan? Ah, rasanya aku sudah kebal dengan itu. Bukankah aku sudah hidup dalam kedinginan yang lebih dingin dari ini?! Jadi intinya aku sudah mati rasa dengan hal itu.
Dari sini aku melihat banyak orang yang berteduh, beberapa lainnya berjalan dengan payung, dan sisanya asik mendengkur di balik selimut. Sedang hujan masih berlomba-lomba jatuh ke tanah, berharap menemukan hal baru yang mungkin menyenangkan.
Ah, sudah sore ternyata. Tapi kakiku masih asik bergerilya. Hingga akhirnya sebuah toko kecil menarik perhatianku, menyeret kedua kakiku untuk mendekatinya. Jujur, tempat ini sedikit asing atau mungkin memang asing, setahuku di tempat ini tak ada toko. Karena di sini jarang ada penduduk, kalaupun ada jarak rumah satu dengan rumah yang lainnya cukup jauh dan jumlahnya bisa dihitung, jadi jika ada yang ingin membuka toko di sekitar sini pasti akan berpikir berkali-kali, bukan?
Karena penasaran aku segera masuk. Pintunya sedikit berdecit, perabot kuno nampak di setiap sudut ruangan. Dan di tengah ruang ada sebuah etalase ukuran besar yang berisi berbagai jenis kue, membentuk segi panjang. Untungnya ada penerangan yang menyala dari lampu gantung di ruangan itu, sehingga aku bisa melihat dengan leluasa semua isinya.
“Halo!” ucapku sedikit kencang. Lalu keluarlah perempuan tua dari dalam. Tubuhnya sedikit bungkuk, keriput di wajahnya tercetak jelas, tapi ada senyum ramah tergurat di sana. Membuatku menjadi sedikit nyaman.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya perempuan tua itu dengan kepala ditelengkan.
“Hemmm, entahlah,” jawabku sambil mengedikkan bahu.
“Oh, tunggu sebentar.” Dia berjalan menuju etalase dan mengambil sebuah kue kecil, berbentuk segitiga, berlapis tiga, dengan selai berbeda di setiap lapisnya.
“Semoga ini mengembalikan perasaan senangmu,” ucapnya sambil menyodorkan kue tersebut. Aku hanya mengerutkan kening, bingung.
“Aku tahu bagaimana sakitnya ditinggal pergi oleh seseorang. Hingga kita tak tahu lagi rumah pulang. Rasanya semua hal membuat muram …,”
“Dari mana kau tahu?!” selaku.
“Kau tahu, hujan di luar mewakili semua perasaanmu. Alam tahu. Kenapa hujan begitu awet? Sebab dukamu demikian. Makanlah.”
Dengan masih bingung aku mengambil kue tersebut dan memakannya.
“Hakikatnya pergi adalah jasadnya, bukan?” lanjut perempuan tua itu.
[author title=”Penulis” image=”https://rembukan.com”]Aathiifah El-Meira Fakhirah[/author]