Suatu hari debu ringkuk,
Di wajah pemulung yang menung di depan ruko.
Seteguk air hapuskan dahaga tandus,
Namun bilas pula segala mimpi,
Yang ia cita-citakan dulu.
Sederhana kaus yang dipakai,
Senada dengan sesuap nasi yang jatuh,
Di perut berirama keroncong.
Mengikuti angin berjalan,
Gontai langkah datang pada setiap tong sampah,
Harta karun yang ia temui; plastik, kulit pisang, kondom,
Dan lalat hijau beterbangan sergap hidung,
Lantas mengetuk dengan aroma galak.
Klakson saling bernyanyi,
Tiada peduli, tetap saja baginya sunyi,
“Hidupku sudah begini, apa artinya mimpi?”
Yang ia tahu, damai dan sejahtera ada pada,
Orang-orang berdasi, berambut klimis.
Kosakata tersusun rapi,
Serta parfum mencolok hidung,
Merayu jiwa untuk bersimpuh di kaki,
Mohon janji segera dilunasi.
Nyatanya, hanya kumpulan pendusta,
Gemar korupsi dan layaknya babi,
Segalanya bakal dikonsumsi,
Tanpa mengerti hati yang lain,
Kita terpasung jeruji tirani.
Jakarta, 2020