
Bersandar pada malam menuju pagi,
Bebincang pada siul yang bergulir,
Adalah aku si paling murka,
Melihat hidup segelintir manusia bernuansa kelabu
Sesosok sendiri ditinggal aibu dan adik semasa jerebu
Oh adik,
Malang hati dicungkil sejak dini.
Di mana letak adil?
Di sana,
Di tempat yang terjangkau oleh pupil,
Ada yang nyenyak pulas di atas katil,
Tak peduli seberapa banyak yang berusaha melawan gigil beralas tanah beratap langgit berselimut angin,
Malam yang usil
Apalah arti menaruh harap,
Jika ujungnya tak tentu terucap,
Apalah arti menanti,
Jika luka tiada terhenti
Di sana,
Di tempat yang tak terjangkau oleh jemari,
Ada yang kenyang menelan nasi dan roti,
Tak peduli seberapa banyak menjual gengsi,
Mati ditikam argumentasi
Lalu akupun tak tahu jawabnya,
Apa kau tahu?
Pekanbaru, 2022
Seorang Teman
Menertawakan diri,
Yang mengabdi membungkam eksistensi
Persetan terhadap gengsi,
Mengenggam hal-hal yang tak pasti.
Menyayat beberapa persepsi,
Ingin menang dalam opini,
Menyakiti diri sendiri,
Mati dalam argumentasi.
“Untuk apa hidup dalam alur yang picik?”
Aih!
Kau bilang picik?
Bukankah hidup ini tak selalu perihal buruk dan baik?
Pergilah kau,
Ke rawa, ke dusun, ke mana yang kau mau
Ceritakan padaku kelak jika bertemu,
Adakah ada yang lebih baik dari segala yang kau sebut picik?
Pergilah,
Pergilah sendiri.
Pergi.
April 2022
Rumah
Segenggam rindu bercampur kesal,
Sebilah bambu menjadi saksi tubuh diusir dari rumah sendiri,
Bangunan runtuh dikubur paksa,
Tampat aku menimang kasih dengan bunda,
Dulu.
Pekik tak di dengar,
Berucap biasa apalagi,
Menertawakan luka yang digenggam hingga tua.
Tak benar-benar tak mendendam,
Tak benar-benar membenci,
Aku hanya ingin rumahku kembali.
2022
-Bantu Rembukan.com agar bisa terus menjadi media yang merangkul penulis-penulis dari desa, dengan cara traktir kami kopi di sini–
Monggo Komentare