
SASMITA
Biarkan sejenak ia merabah gelisah bersama remang matanya,
Sedang hujanpun tiada henti bodohi pertiwi menggigil
Denyut waktu berkecamuk tiada jeda
Terbujur peluh pemuda di penghujung senja kesumba
Pemuda yang matanya telah lama mengakar dendam
Tersaruk-maruk durjana keluh menumpuk
Hujanpun tiada reda menyiram belantara muram
Hanya ia dan sasmita menuntaskan pementasan geram
Dunia seteguk duka di liang matanya
Secercap airmata ia jadikan peraduan
Sedang biru udara telah banyak di sibukan
Kembali ia dan sasmita terhakimi kelesuan
Gelegar halilintar menyambar lamunan
Menuntaskan pementasan sejenak barakan geram
Ia dan sasmita tiada patah sebab kesemuan
Meski tumpah-serapah tergadai senja kesumba penghambaan.
SECANGKIR TUHAN
Secangkir pedih mengalun syahduq
Di bawah pilar bersandar pria menggerutu
Jejak setapak tak lagi mampu ia pijak sebab gemuruh
Gaduh kelabu mengejek dalam sembilu
Aku pria itu, akulah pria itu
Beranjak bangun dari lelap pertapaan
Berharap Sang Hyang Esa mencabut khalut sembilu
Terhanyut sukamaku beku di ujung ubun
Dzikrullah. Dzikrullah terbawa terbang melayang bermandi embun,
Sesekali kuintip dalam pejam
Tak kutemui awan jua tebaran bintang
Gemerlap kerdip sepintas hilang
Gelenjot angin yang bertandang
Kepada cahaya, lupakan sebuah nama di mataku
Sebab mataku adalah malam yang terus saja memar
Tak ada sama sekali namanya di antara nyala itu.
Semuanya sama bagai duka
Tak ada paksaan untuk mencintai-Nya
Akulah pria itu, di antara lima waktu yang berjaga
Tiada satupun darinya yang kukandung
Selain hanya mengenalnya.
[author title=”Penulis : RIO HUDAN DARDIRI” image=”https://mendidik.web.id/”]Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Unhasy Tebuireng Jombang. Selain menulis juga aktif di sanggar Tari dan Teater [/author]
Monggo Komentare