
SENJA DI BALIK ANCALA
Di beranda senja, kupandang ranting kerontang langit berpesta
Risik rerumpun ilalang yang menguning kering
Di penghujung musim, kau janjikan hendak tiba
Persik membara di antara bulan-bulan pucat mendera
Kuberanikan diri bergelanggang sebelum kau menyusul bisu ilalang berlumur kasta.
Genderang tetabuhan sekarat iringi kegilaanku
Menanti janjimu yang tak kunjung mengintip
Sesekali kukerutkan dahi pandangi akasia di bawah megahnya ancala,
Samar-samar terlihat olehku penjelmaannya
Jauh di susun kelam, dahiku menjelma dingin logam.
Rasa takut mengutuk kagum penantian pada hujan hitam.
[divider style=”solid” top=”20″ bottom=”20″]
GUGUR DAUN
Ketika daun-daun gugur, menangkup ruhnya yang luntur
Tersiar kabar penjuru ranting dan akar berkabung
Burung-burung berhambur tinggalkan cemara tunggal yang mulai kehilangan bayang.
Sorot cahaya jingga yang perlahan benamkan terik
Dan mereka dengan menawan terus menebar
Menari liar mereka tiada henti setiap malam
Guyur anggur lupakan mereka pada terik rembulan yang meranggas
Dengus-dengus nafas dan sisa asap cerutu bertandang pada tiap sudut dinding anak pintu
Di atas bantal kumuh ia bangun harapan
Sedang balutan selimut sibuk merasuki alamnya
Sepetak ruang ia jadikan rumah bertaman.
[author title=”RIO HUDAN DARDIRI.” image=”https://rembukan.com/”]Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Unhasy Tebuireng Jombang. Selain menulis juga aktif di sanggar Tari dan Teater [/author]
Monggo Komentare