Orang-orang bilang hujan merepotkan. Bawa payung, bawa jas hujan, celana-celana basah, memotong umur sandal-sandal kulit mahal dan berbagai celotehan ibu-ibu penjemur pakaian di kompleks perumahan. Menggelikan.
Tapi hujanlah selamanya.
“Bagaimana kabarmu?”
Aku tidak tahu bagaimana caramu mengetuk jendela hatiku saat hujan sedang deras-derasnya. Saat hujan, orang-orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Tak akan ada yang peduli, tapi kau..
“Kabarku?”, kau mengangguk antusias. Begitu bersemangat mengajakku bicara. Dan aku menyesal. Semua yang kau lakukan hanya akan membuatmu semakin terluka. Sungguh.
Helaan napas beratku adalah ancaman untuk rinai. Merebusnya dalam sekali hembusan. “Aku masih terbelenggu”
Kasih, hujan menderas. Di jalanan juga di wajahmu. Sudah kukatakan jangan mengajakku bicara, kau sungguh keras kepala. Aku hidup bukan karena aku ingin. Aku sedang terjebak. Terjebak dalam kubangan penyesalan. Masa lalu. Aku sedang tenggelam dalam kenangan.
“Berhentilah..”. Ratusan kali kau ucapkan kata itu dan hatiku semakin mengeras, membatu. Kugelengkan kepala. Tidak ada gunanya, semuanya sia-sia. Percakapan di bawah hujan selalu yang kusuka. Rautku memudar di bawah sini. “Andai aku bisa, aku tidak akan membuatmu terluka, Luna..”
Badan kami sama-sama basah kuyup—entah karena air mata atau karena hujan yang begitu brutal. Luna semakin terlihat menarik. Mataku yang tertarik, hatiku tidak. “Luna.. sudahlah,” aku menangkup wajahnya. Ia memerah. Kulanjutkan ucapanku, “Jatuh cinta itu hanya sekali—“
Dan ia menyela,
“Setelahnya jika kau jatuh cinta lagi, itu bukan cinta. Itu hanya obsesi”. Desah napasnya membuatku semakin merasa bersalah. “Gusti, aku sudah hafal dengan ucapanmu. “
Lalu ia pergi. Memudar bersama mendung. Dan aku kembali sendiri. “Arghh!!”, tidak ada yang lebih menyesakkan dari ini. Duapuluh tahun aku hidup dan cinta hanya sekali menjengukku. Ini tidak adil! Untukku juga untuk Luna. Kenapa aku tidak bisa mencintainya seperti aku mencintai cinta pertamaku—Diana. Diana, Diana, Diana, sial!
Andai bisa ingin kubentak di depan wajah tirus memabukkannya. “Kau bawa pergi kemana hatiku hah! Kalau kau tidak mencintaiku, kenapa kau curi segalanya dariku! Cintaku, hatiku, hidupku, tawaku, air mataku, hujanku, kau ambil semuanya! Tak ada yang tersisa Diana.. aku ingin membaginya sedikit dengan Luna, ia begitu tulus mencintaiku. Tapi aku tak memiliki apapun, tak ada yang tersisa. Cinta pertama yang begitu jahat, huh..”
Hujan mulai bosan melihatku meringkuk menyedihkan di bangku taman sendirian. Ia juga pergi, seperti Luna dan juga Diana. Mereka semua pergi. Tapi hujan pasti kembali. Sedang Diana juga akan kembali, kembali padaku sambil melambaikan tangan kirinya. Tangan kanannya tergenggam erat di tangan suaminya. Hanya lalu sambil tersenyum riang. Ah, aku masih selalu berdebar jika temu tatap dengannya. Apa ini dosa?
Dan Luna..
Luna kembali. Tapi tak utuh lagi. Tiap hujan datang, ia selalu menjengukku di taman, menantiku sambil mengayunkan kaki senang. Mengobrol satu-dua ucap lalu ia memudar. Aku berbincang dengan rohnya. Luna telah tiada.
Aku ingat bagaimana ia melambaikan tangan sambil tersenyum lebar padaku setahun yang lalu. Ia begitu tak sabarnya bertemu denganku, aku hanya tersenyum kecil. Ia berlari dari seberang jalan, rambutnya yang tergerai begitu indah tertiup angin sore. Aku hanya melihatnya dari tempatku berdiri tanpa ada keinginan mengikis jarak. “Gustiii… Gusti….”, ia berteriak di tengah jalan. Sungguh tingkahnya menggelikan, hatiku tergerak untuk berjalan. Mendekat. Ia masih berlari, menyelip diantara pejalan kaki lainnya yang sama-sama menyebrang. Lalu semuanya terjadi begitu cepat. Lunaku sibuk berlari sampai tak menyadari sebuah mobil kehilangan kendali berada tepat di depannya. Ia menjerit terkejut kemudian badannya luruh. Ia ambruk penuh darah. Aku juga ambruk. Entah bagaimana, tiba-tiba aku merasakan hatiku hancur. Telingaku sayup-sayup mendengar lirihnya, “G-gus..ti..”.
Aku bodoh.
Langit mengutukku dengan kilat dan hujannya. Tak dibiarkannya aku merasai cinta. Hanya sekali. Dan itu sudah pergi. Semuanya..
Luna.. aku memang masih terbelenggu. Dan maafkaan aku yang masih membuatmu tertahan di sini.. tempatmu di surga, tapi aku menahanmu di sini. Luna.. aku terbelenggu cintamu. Bukan lagi Diana sialan itu.. dan tentang ucapanku tadi,
“Jatuh cinta hanya sekali, tapi sungguh itu salah.. aku mencintaimu Luna. Aku mencintaimu..”. Itu yang ingin kukatakan. Tapi sepertinya kau mulai membenciku. Yah.. semuanya sia-sia. Sekarang kurelakan kau pergi ke tempat dimana seharusnya kau berada. Kudapatkan lagi hatiku saat mengenang tingkah lugumu. Dan aku yakin kau selalu mengawasiku di atas sana. Tunggu aku, Luna.. tunggu aku menjemputmu di sana.
[author title=”Livalutfian R. Iza” image=”https://fredericdonnerbooks.com/wp-content/uploads/2017/03/science_of_tears.jpg”]TTL : Malang, 17 September 2000 Status : Mahasiswa[/author]